Pengetahuan untuk Hidup lebih Baik

LightBlog

Subscribe Youtube & Dapatkan Video Tips Kesehatan Gratis

Sunday 22 January 2017

Meninjau Khasiat dan Keamanan Obat Herbal vs Obat Medis

Sekilas Tentang Keamanan Penggunaan Obat Herbal

Sudah menjadi opini medis yang umum bahwa tidak mungkin bila suatu obat memiliki efek terapi namun tidak memiliki efek samping. Jika herbal diklaim aman/bebas dari efek samping maka kemungkinan herbal tersebut tidak efektif. Hal ini merupakan pandangan yang rasional. Suatu intervensi pada suatu loka aksi selalu mengarah pada terjadinya reaksi pada loka aksi yang lain, baik karena koneksi fungsional atau struktural maupun karena kesamaan sensitivitas.
Disisi lain, ada kepercayaan populer yang bertahan bahwa herbal itu aman. Kemungkinan alasan utama mengapa pasien selalu menggunakan herbal adalah karena mereka mengasumsikan bahwa herbal tidak mempunyai efek samping, tidak seperti obat konvensional. Banyak herbalis yang memiliki pendapat yang sama. Mereka merujuk pada penggunaan dari banyak obat tradisional yang sudah digunakan oleh banyak orang sejak jaman prasejarah. Mereka juga menggunakan obat herbal untuk tujuan yang berbeda dengan obat konvensional, yaitu untuk meningkatkan respons penyembuhan daripada menargetkan patologi atau gejala, dimana obat herbal merupakan  sebuah paket yang kompleks yang mengandung senyawa-senyawa aktif.
Efek toksik dari herbal jarang sekali terdokumentasikan, walaupun ada beberapa kasus yang perlu mendapat perhatian serius. Masalah utama dari penggunaan obat herbal adalah perlunya informasi yang dapat menjamin keamanan dan menghindari bahaya yang tersembunyi. Hal ini terutama perlu diatur oleh pemerintah selaku regulator untuk menjamin keamanan masyarakat dengan membatasi akses terhadap setiap herbal yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Jumlah obat herbal diindonesia begitu banyak dan memiliki keragaman, keamanan serta khasiat yang bermacam-macam

Keramanan Tanaman Herbal di Indonesia

Indonesia merupakan sumber tumbuhan obat di dunia. Sebanyak 40.000 jenis flora yang ada di dunia, 30.000 jenis dijumpai di Indonesia dan 940 jenis di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat. Keanekaragaman hayati ini merupakan aset nasional yang bernilai tinggi untuk pengembangan industri agromedisin di dunia. Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature) dengan keyakinan bahwa mengkomsumsi obat alami relatif lebih aman dibanding dengan obat sintetik, maka berdampak pada peningkatan permintaan dunia akan obat alami sehingga prospek pasar tumbuhan obat Indonesia di dalam maupun di luar negeri peluangnya semakin besar.
Menurut Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Obat Tradisional (OT) adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Obat herbal terstandar (OHT) adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi.
Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad  yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dan dokumen Serat Primbon Jampi.
Menurut WHO, negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju  adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern (Oktora, 2006).

Klasifikasi Obat Herbal

Menurut peraturan BPOM RI nomor : HK.00.05.41.1384 tentang kriteria dan tata laksana pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka, yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau  ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan  pengalaman. Obat bahan alam yang ada di Indonesia saat ini dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.

Kelebihan Obat Herbal dibandingkan dengan Obat Konvensional

Dibandingkan obat-obat modern, memang obat tradisional (OT) memiliki beberapa kelebihan, antara lain : efek sampingnya relatif rendah, dalam suatu ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif.

Efek samping obat tradisional (OT) relatif kecil bila digunakan secara benar dan tepat

OT akan bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat, baik takaran, waktu dan cara penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuai dengan indikasi tertentu.

Ketepatan dosis

Daun seledri (Apium graviolens) telah diteliti dan terbukti mampu menurunkan tekanan darah, tetapi pada penggunaannya harus berhati-hati karena pada dosis berlebih (over dosis) dapat menurunkan tekanan darah secara drastis sehingga jika penderita tidak tahan dapat menyebabkan syok. Oleh karena itu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi lebih dari 1 gelas perasan seledri untuk sekali minum. Demikian pula mentimun, takaran yang diperbolehkan tidak lebih dari 2 buah untuk sekali makan. Untuk menghentikan diare memang bisa digunakan gambir, tetapi penggunaan lebih dari 1 ibu jari, bukan sekedar menghentikan diare bahkan akan menimbulkan kesulitan buang air besar selama berhari-hari (konstipasi).  Sebaliknya penggunaan minyak jarak (Oleum ricini) untuk diare yang tidak terukur akan menyebabkan iritasi saluran pencernaan. Demikian juga dengan pemakaian keji beling (Strobilantus crispus) untuk batu ginjal melebihi 2 gram serbuk (sekali minum) bisa menimbulkan iritasi saluran kemih.

Ketepatan waktu penggunaan

Sekitar tahun 1980-an terdapat suatu kasus di salah satu rumah sakit bersalin, beberapa pasien mengalami kesulitan persalinan akibat mengkonsumsi jamu cabe puyang sepanjang masa (termasuk selama masa kehamilan). Setelah dilakukan penelitian, ternyata jamu cabe puyang mempunyai efek menghambat kontraksi otot pada binatang percobaan. Oleh karena itu kesulitan melahirkan pada ibu-ibu yang mengkonsumsi cabe puyang mendekati masa persalinan karena kontraksi otot uterus dihambat terus-menerus sehingga memperkokoh otot tersebut dalam menjaga pertumbuhan janin didalamnya selama proses kehamilan berlangsung. Sebaliknya jamu kunir asem bersifat abortivum sehingga mungkin dapat menyebabkan keguguran bila dikonsumsi pada awal kehamilan. Sehubungan dengan hal itu, seyogyanya bagi wanita hamil minum jamu cabe puyang di awal kehamilan (antara 1-5 bulan) untuk menghindari resiko keguguran dan minum jamu kunir asem saat menjelang persalinan untuk mempermudah proses persalinan. Kasus lain adalah penggunaan jamu sari rapet yang terus menerus dapat menyebabkan kesulitan memperoleh keturunan bagi wanita yang kurang subur karena ada kemungkinan dapat memperkecil rahim.

Ketepatan cara penggunaan

Daun kecubung (Datura metel L.) telah diketahui mengandung alkaloid turunan tropan yang bersifat bronkodilator (dapat memperlebar saluran pernafasan) sehingga digunakan untuk pengobatan penderita asma. Penggunaannya dengan cara dikeringkan lalu digulung dan dibuat rokok serta dihisap (seperti merokok). Akibat kesalahan informasi yang diperoleh atau kesalahfahaman, secara umum penggunaan OT secara tradisional adalah direbus lalu diminum air seduhannya; maka jika hal itu diperlakukan terhadap daun kecubung, akan terjadi keracunan karena tingginya kadar alkaloid dalam darah. Orang Jawa menyebutnya ‘mendem kecubung’ dengan salah satu tandanya midriasis (mata membesar).

Ketepatan pemilihan bahan secara benar

Berdasarkan  pustaka, tanaman lempuyang ada 3 jenis, yaitu lempuyang emprit (Zingiber amaricans L), lempuyang gajah (Zingiber zerumbert L.) dan lempuyang wangi (Zingiber aromaticum L.). Lempuyang emprit dan lempuyang gajah berwarna kuning berasa pahit dan secara empiris digunakan untuk menambah nafsu makan; sedangkan lempuyang wangi berwarna lebih putih (kuning pucat) rasa tidak pahit dan berbau lebih harum, banyak digunakan sebagai komponen jamu pelangsing. Kenyataannya banyak penjual simplisia yang kurang memperhatikan hal tersebut, sehingga kalau ditanya jenisnya hanya mengatakan yang dijual lempuyang tanpa mengetahui apakah lempuyang wangi atau yang lain. Kerancauan serupa juga sering terjadi antara tanaman ngokilo yang dianggap sama dengan keji beling, daun sambung nyawa dengan daun dewa, bahkan akhir-akhir ini terhadap tanaman kunir putih, dimana 3 jenis tanaman yang berbeda (Curcuma mangga, Curcuma zedoaria dan Kaempferia rotunda) seringkali sama-sama disebut sebagai ‘kunir putih’ yang sempat mencuat ke permukaan karena dinyatakan bisa digunakan untuk pengobatan penyakit kanker.

Ketepatan pemilihan OT untuk indikasi tertentu

Kenyataan di lapangan ada beberapa OT yang memiliki khasiat empiris serupa bahkan dinyatakan sama (efek sinergis). Sebaliknya untuk indikasi tertentu diperlukan beberapa jenis OT yang memiliki efek farmakologis saling mendukung satu sama lain (efek komplementer). Walaupun demikian karena sesuatu hal, pada berbagai kasus ditemui penggunaan OT tunggal untuk tujuan pengobatan tertentu. Misalnya seperti yang terjadi sekitar tahun 1985, terdapat banyak pasien di salah satu rumah sakit di Jawa Tengah yang sebelumnya mengkonsumsi daun keji beling. Pada pemeriksaan laboratorium dalam urinnya ditemukan adanya sel-sel darah merah dalam jumlah melebihi normal. Hal ini sangat dimungkinkan karena daun keji beling merupakan diuretik kuat sehingga dapat menimbulkan iritasi pada saluran kemih. Akan lebih tepat bagi mereka jika menggunakan daun kumis kucing (Ortosiphon stamineus) yang efek diuretiknya lebih ringan dan dikombinasi dengan daun tempuyung (Sonchus arvensis) yang tidak mempunyai efek diuretik kuat tetapi dapat melarutkan batu ginjal berkalsium. Penggunaan daun tapak dara (Vinca rosea) untuk mengobati diabetes bukan merupakan pilihan yang tepat, sebab daun tapak dara mengandung alkaloid vinkristin dan vinblastin yang dapat menurunkan jumlah sel darah putih (leukosit). Jika digunakan untuk penderita diabetes yang mempunyai jumlah leukosit normal akan membuat penderita rentan terhadap serangan penyakit karena terjadi penurunan jumlah leukosit yang berguna sebagai pertahanan tubuh. 

Adanya efek sinergisme dalam ramuan obat tradisional

Dalam suatu ramuan OT umumnya terdiri dari beberapa jenis OT yang memiliki efek saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan hal ini disebabkan oleh komponen bioaktif tanaman obat yang majemuk. Formulasi dan komposisi ramuan tersebut dibuat setepat mungkin agar tidak menimbulkan kontra indikasi, bahkan harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang terhadap suatu efek yang dikehendaki. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan bahwa suatu formulasi terdiri dari komponen  utama sebagai bahan berkhasiat, bahan penunjang sebagai unsur pendukung atau penunjang, ajuvan untuk membantu menguatkan efek serta bahan tambahan sebagai pelengkap atau penyeimbang dalam formulasi. Setiap unsur bisa terdiri lebih dari 1 jenis TO sehingga komposisi OT lazimnya cukup komplek.
Misalnya suatu formulasi yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah, komponennya terdiri dari : daun seledri (sebagai vasodilator), daun alpukat atau akar teki (sebagai diuretika), daun murbei atau besaren (sebagai kalsium antagonis) serta biji pala (sebagai sedatif ringan). Formulasi lain dimaksudkan untuk pelangsing, komponennya terdiri dari : kulit kayu rapet dan daun jati belanda (sebagai pengelat), daun jungrahap (sebagai diuretik), rimpang kunyit dan temulawak (sebagai peluruh saluran cerna sekaligus bersifat pencahar). Dari formulasi ini walaupun nafsu makan ditingkatkan oleh temulawak dan kunyit, tetapi penyerapan sari makanan dapat ditahan oleh kulit kayu rapet dan jati belanda. Pengaruh kurangnya defekasi dinetralisir oleh temulawak dan kunyit sebagai pencahar, sehingga terjadi proses pelangsingan sedangkan proses defekasi dan diuresis tetap berjalan sebagaimana biasa.
Terhadap ramuan tersebut seringkali masih diberi bahan-bahan tambahan (untuk memperbaiki warna, aroma dan rasa) dan bahan pengisi (untuk memenuhi jumlah/volume tertentu). Bahan tambahan sering disebut sebagai koringensia, yaitu korigensia saporis (sebagai penyedap rasa, misalnya menta atau kayu legi), korigensia odoris (penyedap aroma/bau, misalnya biji kedawung atau buah adas) dan korigensia coloris (memperbaiki warna agar lebih menarik, misalnya kayu secang, kunyit atau pandan). Untuk bahan pengisi bisa digunakan pulosari atau adas, sekaligus ada ramuan yang disebut ‘adas-pulowaras’ atau ‘adas-pulosari’.
Untuk sediaan yang berbentuk cairan atau larutan, seringkali masih diperlukan zat-zat atau bahan yang berfungsi sebagai stabilisator dan solubilizer. Stabilisator adalah bahan yang berfungsi menstabilkan komponen aktif dalam unsur utama, sedangkan solubilizer untuk menambah kelarutan zat aktif. Sebagai contoh, kurkuminoid, yaitu zat aktif dalam kunyit yang bersifat labil (tidak stabil) pada suasana alkalis atau netral, tetapi stabil dalam suasana asam, sehingga muncul ramuan ‘kunir-asem’. Demikian juga dengan etil metoksi sinamat, suatu zat aktif pada kencur yang agak sukar larut dalam air; untuk menambah kelarutan diperlukan adanya ‘suspending agent’ yang berperan sebagai solubilizer yaitu beras, sehingga dibuat ramuan ‘beras-kencur’.
Selain itu beberapa contoh OT yang memiliki efek sinergis, misalnya untuk diuretik bisa digunakan daun keji beling, daun kumis kucing, akar teki, daun alpokat, rambut jagung dan lain sebagainya. Sedangkan efek komplementer (saling mendukung) beberapa zat aktif dalam satu tanaman, contohnya seperti pada herba timi (Thymus serpyllum atau T.vulgaris) sebagai salah satu ramuan obat batuk. Herba timi diketahui mengandung minyak atsiri (yang antara lain terdiri dari : timol dan kalvakrol) serta flavon polimetoksi. Timol dalam  timi berfungsi sebagai ekspektoran (mencairkan dahak) dan kalvakrol sebagai anti bakteri penyebab batuk; sedangkan flavon polimetoksi sebagai penekan batuk non narkotik, sehingga pada tanaman tersebut sekurang-kurangnya ada 3 komponen aktif yang saling mendukung sebagai anti tusif. Demikian pula efek diuretik pada daun kumis kucing karena adanya senyawa flavonoid, saponin dan kalium.

satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi

Zat aktif pada tanaman obat umumnya dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder; sehingga memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek tersebut adakalanya saling mendukung, tetapi ada juga yang seakan-akan saling berlawanan atau kontradiksi. Sebagai contoh, misalnya pada rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza) yang disebutkan memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain : sebagai anti inflamasi (anti radang), anti hiperlipidemia (penurun lipida darah), kolagogum (merangsang pengeluaran produksi cairan empedu), hepatoprotektor (mencegah peradangan hati) dan juga stomakikum (memacu nafsu makan). Jika diperhatikan setidak-tidaknya ada 2 efek yang kontradiksi, yaitu antara anti hiperlipidemia dan stomakikum. Bagaimana mungkin bisa terjadi pada satu tanaman, terdapat zat aktif yang dapat menurunkan kadar lemak/kolesterol darah sekaligus dapat bersifat memacu nafsu makan.
Hal serupa juga terdapat pada tanaman kelembak (Rheum officinale) yang telah diketahui mengandung senyawa antrakinon bersifat non polar dan berfungsi sebagai laksansia (urus-urus/pencahar); tetapi juga mengandung senyawa tanin yang bersifat polar dan berfungsi sebagai astringen (pengelat) dan bisa menyebabkan konstipasi untuk menghentikan diare. Lain lagi dengan buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang pernah populer karena disebutkan dapat untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Kenyataan seperti itu disatu sisi merupakan keunggulan produk OT, tetapi disisi lain merupakan bumerang karena alasan yang tidak rasional untuk bisa diterima dalam pelayanan kesehatan formal.

Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif

Pola penyakit di Indonesia (bahkan di dunia) telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar sebelum tahun 1970) ke penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah tahun 1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan tingkat ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang bermanfaat dalam pengobatan dan peningkatan kesejahteraan umat manusia.
Pada periode sebelum tahun 1970-an banyak terjangkit penyakit infeksi yang memerlukan penanggulangan secara cepat dengan mengunakan antibiotika (obat modern). Pada saat itu jika hanya mengunakan OT atau Jamu yang efeknya lambat, tentu kurang bermakna dan pengobatannya tidak efektif.
Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik, melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit metabolik dan degeneratif. Jenis penyakit metabolik antara lain : diabetes (kencing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif di antaranya : rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulkus (tukak lambung), haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun (lost of memory). Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakaian obat dalam waktu  lama sehingga jika mengunakan obat modern dikhawatirkan adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Maka lebih sesuai bila menggunakan OT, walaupun penggunaannya dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman. 

No comments:

Post a Comment

Sahabat Pengunjung Sawittoku, Mohon untuk meninggalkan saran agar pengembangan kualitas konten blog dapat lebih ditingkatkan.
Demi kenyamanan maka komentar yang mengandung Sara, Pornografi, Perjudian, Pelecehan ataupun sejenisnya dan mengandung Link akan kami jadikan SPAM.Terima Kasih Atas Perhatiannya